Sunday, July 05, 2009

Guguak Sembahyang
Cerpen : Afnaldi Syaiful

Masih seperti yang dulu, aku menatap kolam kecil berair jernih itu sambil mengusap dahiku yang berkeringat. Rambutku yang memutih dan makin tipis meriap dipermainkan angin sore yang membawa aroma bunga padi. Mataku yang mulai dilingkupi lemak dan katarak memperhatikan ikan-ikan kecil yang berkejaran di antara tumbuhan air dan akar pepohonan menjuntai, yang mencerap air dan mineral dari kolam itu. Gelembung udara keluar dari sebuah lubang kecil di dasar kolam. Berkelenjotan membebaskan diri dari tekanan air. Pada akhirnya gelembung itu meletup sesampai di permukaan kolam. Matahari mulai condong ke barat. Bayangan guguak[i] terlihat memanjang dan meneduhi kolam kecil itu. Sayup-sayup telingaku yang mulai kurang awas menangkap gema adzan dari corong mesjid yang berada nun jauh di desa.

Guguak Sembahyang adalah nama yang dilekatkan pada gundukan tanah yang membukit kecil itu. Berada di areal persawahan yang membentang luas. Dengan ketinggian sekitar dua meter dari permukaan sawah. Puncak guguak relatif datar dengan luas sekira selapangan bulutangkis. Terdapat sebuah batu datar. Konon batu itu berasal dari Gunung Marapi yang terbawa galodo[ii] beberapa waktu yang lalu. Batu besar ini digunakan oleh petani penggarap sebagai alas untuk shalat setiap siang dan petang. Itulah sebabnya dinamakan Guguak Sembahyang.

Di sebelah barat guguak terdapat sebuah pohon beringin teduh, yang menyangga tebing guguak yang curam. Di sebelah timur, terdapat bagian landai yang digunakan sebagai jalan untuk naik. Di sini terdapat sebuah mata air yang tidak pernah kering, walau musim kemarau berpanjangan sekalipun. Mata air itu membentuk sebuah kolam berair jernih seukuran satu meter persegi dan biasanya digunakan untuk berwudlu. Air yang menyegarkan itu bening seperti kaca, tembus pandang pada dasar kolam tersebut. Di sana terlihat gelembung berkelenjotan dari lubang mata air kolam itu.

Di pinggir kolam itulah aku berjongkok kini. Sebuah batu datar, bersih, menjadi alasnya. Aku meraup air yang jernih dengan dua telapak tangan. Hendak membasuhkannya ke wajahku yang semakin hari bertambah keriput.

Sebelum sampai dua telapak tangan mengusap mukaku, tiba-tiba sebuah energi sangat besar seolah-olah menahan dua lenganku. Menghentikan semua gerakku. Aku terhentak, tertahan, dan menjadi kaku seperti patung es yang beku, dengan posisi dua tangan tengadah. Masih kudengar suara angin menyelingkuhi batang-batang padi. Desaunya menghipnotisku, membumbungkan kesadaranku entah kemana.

Tiba-tiba mataku terasa perih dan gatal. Ingin rasanya aku menggaruknya. Akan tetapi tanganku tidak dapat digerakan. Begitu juga kaki, tubuh, kepalaku. Semua diam, semua beku. Aku menjadi seperti patung setengah duduk, dua lutut menjadi landasan untuk bersitumpu. Badan condong ke depan, dengan dua tangan tengadah seolah sedang berdoa. Aku coba memejamkan mata. Berhasil. Bola mataku mendapat kesejukan tiada tara. Dalam keadaan terpejam, kucoba menggerakan bola mataku ke kiri, ke kanan.

Bolak-balik.

Ke kiri, ke kanan.

Bolak-balik....

Ketika aku buka mata lagi, sebuah energi menyeretku masuk ke dalam kolam kecil itu, menyedotku ke lubang tempat kecil keluar gelembung udara itu. Aku berontak, tetapi kekuatan energi itu melebihi kekuatanku.

Seolah-olah memasuki sebuah lorong waktu, energi itu menyedotku. Melintasi detik demi detik ke belakang, menit demi menit ke belakang, jam demi jam ke belakang, hari demi hari ke belakang, bulan demi bulan ke belakang, tahun demi tahun ke belakang. Waktu merupakan misteri bagiku. Masa lalu, masa kini, masa depan merupakan misteri bagiku. Energi itu membawaku mengarungi misteri itu sampai aku merasakan seperti dilemparkan pada suatu tempat.

Aku tersadar ketika sebuah bentakan keras menggema di gendang telinggaku.

“Mengakulah anjing kurap!” bentakan itu menggema. “Nama dan tanda tangan tanganmu tertera pada daftar ini.”

Aku tersentak begitu menatap orang yang membentak itu. Beberapa lelaki dengan tubuh gempal berotot, berdiri mengelilingiku. Rambut yang dipotong pendek dan seragam yang mereka kenakan mengingatkanku kejadian sekitar 40 tahun lalu. Seragam hijau tua dengan belang-belang yang aku tidak mengerti maknanya. Sepatu kulit keras yang juga belang-belang, serta sebuah sabuk sebesar 4 atau 5 jariku melingkar di pinggangnya. Ya, persis sama seperti kejadian 40 tahun lalu. Persis sama.

Atau memang aku berada pada masa 40 tahun yang lampau?

Salah satu dari mereka menjambaki rambutku yang tipis. Perih kurasakan dari akar rambutku yang disentak. Aku memegang rambutku untuk sedikit menetralisir rasa sakit. Aku kaget, rambutku seakan berbeda dengan ketika aku berada di pinggir kolam tadi. Terasa lebih tebal. Sejenak aku tercenung, kemudian memperhatikan diriku lebih dalam. Tanganku, kakiku, ah, mengapa semua berubah. Kulit keriput berganti dengan kulit kencang, berkeringat, dan mengkilap tertimpa cahaya matahari. Otot-otot menyembul dari lenganku. Dada bidang dengan bulu-bulu halus menghitam menghiasinya.

Ya, Tuhan, apa yang terjadi denganku. Mengapa semuanya berubah.

Aku edarkan pandangan berkeliling. Mengenali dimana aku berada. Pohon beringin itu, sawah-sawah yang menghampar. Ya, ini Guguak Sembahyang.

“Betul nama kamu Denai?” bentak orang yang berseragam itu lagi, menyadarkanku.

“Dimana aku?” tanyaku tanpa mempedulikan pertanyaannya.

Plak. Lima jarinya menjejak telak di pipiku. Seketika seperti ribuan semut merah yang ganas menggigit pipiku secara serentak.

“Anjing kurap! Jangan banyak tanya! Kau hanya boleh menjawab,” suara beratnya itu memakiku. “Kamu Denai kan?” lanjutnya memperlihatkan sebuah salinan daftar nama. Aku menatapnya. Perasaanku mengatakan bahwa aku pernah melihat dan mengenal daftar nama tersebut. Akan tetapi semua samar dalam ingatanku.

Ya, tiba-tiba sepercik isyarat membangkitkan ingatanku. Sebuah karung pupuk yang teronggok dekat pohon beringin itu membawa ingatanku pada kejadian beberapa bulan lalu. Ya, tepatnya empat bulan setelah pernikahanku dengan Fatima, anak mamakku[iii] yang hitam manis itu. Usiaku baru menginjak 23 tahun, sedangkan Fatima 19 tahun. Pernikahanku berlangsung dalam situasi yang memprihatinkan. Krisis besar yang tidak aku mengerti sebabnya melanda negeri ini. Harga-harga membumbung tinggi. Barang-barang kebutuhan sulit untuk didapatkan.

Masa bahagia bulan maduku – kalau boleh disebut bulan madu – tidak berlangsung lama. Saatnya aku memikul tanggung jawab untuk menghidupi keluarga kecilku. Singkat ceritanya, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, aku bekerja menggarap sawah, menjadi petani. Aku jalani rutinitas harian. Lumpur sawah dan lenguhan kerbau menjadi teman akrabku. Terik matahari, keringat mengucur dari pori-pori di kulit yang semakin menghitam, gosong terbakar, sudah menjadi keseharianku.

Carut marut negeri ini ternyata masih berlanjut. Seperti yang kudengar dari radio butut – satu-satunya alat elektronik yang aku punyai – ketegangan terjadi antara elit-elit politik di ibukota. Mereka saling curiga satu sama lain. Kawan dan lawan tidak jelas lagi. Di beberapa tempat terjadi aksi pematokan tanah. Tanah-tanah yang luas milik orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah dikapling-kapling secara paksa, lantas dibagikan pada petani penggarap. Seiring dengan segala carut marut itu harga-harga membumbung ke langit.

Aku yang tidak mengerti politik – memang pendidikan politik bagi masyarakat di negeriku ini tidak ada – hanya manggut-manggut saja. Bagiku kini hanyalah bagaimana dapat menghidupi keluarga kecilku. Bagaimana memperoleh bahan pokok dengan mudah dan murah. Bagaimana mendapatkan bibit dan pupuk dengan mudah dan murah.

Sedikit harapan, pada suatu hari ada penjualan pupuk murah. Aku tidak tahu sama sekali siapa yang mengadakan penjualan pupuk murah. Bagiku, terpenting adalah mendapatkan pupuk dengan harga murah untuk padiku yang mulai menghijau. Setelah melalui proses administrasi tertentu, kemudian membubuhi nama dan tanda-tangan pada sebuah daftar, maka dengan senyum mengambang di bibir, aku memikul sekarung kecil pupuk. Salinan daftar nama itulah kini yang berada di tangan orang berseragam itu.

“Anjing kurap,” bentakannya membuyarkan lamunanku. “Jawab!” lanjutnya sambil mengayunkan kakinya yang dibungkus sepatu kulit itu ke arahku.

“Ah,” teriakku tertahan ketika sepatu yang keras itu melanda dadaku. Aku jatuh terlentang. Beberapa orang di antara mereka maju dan mendaratkan sepatunya ke sekujur tubuhku. Aku berusaha melindungi tubuh dan wajahku dengan dua lengan. Mereka terus maju. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menghujamkan kakinya tepat di selangkanganku. Aku yang tidak menduga, kasip untuk melindungi bagian vital tubuhku ini.

“Aaaahhhh....”

Suara teriakanku menggema, seakan-akan memenuhi ruang udara Guguak Sembahyang. Kedua telapak tanganku refleks menutupi bagian antara dua pahaku. Mataku terpejam menahan rasa panas dan nyeri yang tiba-tiba menyerang selangkanganku. Bola mataku menggeliat ke kiri, ke kanan.

Bolak-balik.

Ke kiri, ke kanan.

Bolak-balik....

Tiba-tiba energi itu – yang tadi menarikku ke dalam kolam – kembali menghentakku. Kembali seolah-olah memasuki sebuah lorong waktu. Melintasi detik demi detik ke depan, menit demi menit ke depan, jam demi jam ke depan, hari demi hari ke depan, bulan demi bulan ke depan. Waktu memang misteri bagiku. Masa lalu, masa kini, masa depan memang misteri bagiku. Dan energi itu kembali membawaku mengarungi misteri itu sampai aku menemukan diriku di atas sebuah ranjang.

“Uda[iv],” desah Fatima. Aku menatap wajah istriku itu. Sebulir bening bergulir dari sudut matanya. “Ada apa denganmu, Uda?” tanyanya sambil menarik selimut tebal, menutupi sekujur tubuhnya yang tidak terlindung apa pun. Tarikan nafasnya masih belum teratur.

Aku terkaget-kaget begitu melihat ke sekelilingku. Segera aku perhatikan tubuhku. Rambutku masih hitam dan tebal – bukan putih dan tipis. Kulitku masih kencang dan berotot – tidak keriput. Memang di beberapa bagian terlihat baret-baret melintang, bekas-bekas pukulan dan cambukan. Bahkan di paha bagian dalam sebelah kiri masih terjejak bekas tapak sepatu yang tak kunjung hilang.

“Kalau Uda seperti ini terus, kapan kita akan mendapat keturunan Da?” lirih suara Fatima menusuk gendang telingaku. Menohok dinding perasaanku paling dalam. “Uda kan tahu, aku anak perempuan satu-satunya. Aku mengemban tugas mahaberat, Da. Meneruskan garis keturunan keluargaku,” tangis istriku pecah sudah. Dinding pertahanannya bobol. Air matanya bergulir di pipinya.

“Maafkan aku, Fatima,” ujarku lirih.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Di mataku terbayang kembali acap kali sepatu hijau belang-belang yang keras itu melekat telak di antara dua pahaku. Berawal di Guguak Sembahyang – waktu penangkapan – sampai di kamp tahanan yang menyeramkan itu. Saking seringnya sehingga semua menjadi mati rasa.

“Semenjak Uda pulang, tidak pernah sekalipun berhasil, Da,” isakan Fatima meluruhkan hatiku. “Jangankan berhasil, ‘berdiri’ pun Uda tidak mampu. Mungkin aku bisa memakluminya, Da. Aku bisa mematikan keinginanku. Akan tetapi ibuku, keluargaku yang menaruh harapan padaku? Setiap hari aku selalu dicecar dengan pertanyaan yang sama, Da. ‘Kapan, kapan, kapan?’ Selalu itu yang mereka tanyakan”.

Kapan? Kapan? Kapan?

Pertanyaan itu menggema di telingaku. Melahirkan gema panjang yang menendang-nendang sudut-sudut perasaanku yang paling dalam. Ada gejolak yang mendidihkan hatiku. Mataku memanas. Kukatupkan kelopak mataku, refleks dua bola mataku bergerak ke kiri, ke kanan.

Bolak-balik.

Ke kiri, ke kanan.

Bolak-balik....

Seperti sebuah mantra, gerakan boa mataku mendatangkan kembali energi besar menyedotku tadi. Kembali seolah-olah memasuki sebuah lorong waktu. Melintasi detik demi detik ke depan, menit demi menit ke depan, jam demi jam ke depan, hari demi hari ke depan, bulan demi bulan ke depan, tahun demi tahun ke depan. Waktu memang misteri bagiku. Masa lalu, masa kini, masa depan memang misteri bagiku. Dan energi itu kembali membawaku mengarungi misteri itu sampai aku menemukan diriku terpatung kaku di tepi kolam yang berair jernih di kaki Guguak Sembahyang.

Masih seperti tadi. Masih seperti patung setengah duduk, dua lutut menjadi landasan bersitumpu. Badan condong ke depan, dua tangan tengadah seolah-olah berdoa. Nyeri menyemuti sekujur tubuhku. Tidak terasa, air mata bergulir menelusuri ceruk-ceruk keriput pipi yang makin dalam. Kucoba gerakan tanganku yang kaku, kucoba gerakan seluruh tubuhku yang kaku.

Ya, Tuhan, energi itu membawaku melewati ruang waktu kembali ke masa lalu.

Setelah kejadian malam itu, setelah Fatima menuntut kewajiban yang tidak mampu aku penuhi, akhirnya kuambil keputusan untuk meninggalkan semua. Secara baik-baik kuceraikan istri yang sangat kucintai. Setelah semua urusan beres aku tinggalkan kampung halaman. Kukubur semua mimpi buruk yang kualami.

Kujalani hidup di perantauan dengan penuh keprihatinan. Dengan label bekas pesakitan kulalui detik demi detik dengan langkah berat. Apalagi semua harus kuhadapi sendiri. Tidak ada teman untuk bersedih, tidak ada lagi isteri untuk berbagi (aku memutuskan untuk tetap menyendiri sampai saat ini karena tidak ingin ada pihak-pihak yang tersakiti karena ketidakmampuan diriku). Sedikit aku terhibur ketika mendapat kabar bahwa mantan istriku, Fatima, menikah lagi dan telah memiliki beberapa orang anak sebagai penerus garis keturunan keluarganya.

Setelah sekian lama hidup di negeri orang, menjelang usia 65 tahun, kerinduanku pada kampung halaman tidak tertahan lagi. Dan kerinduan itulah yang membawaku kembali ke sini.

“Permisi, Pak,” suara seorang perempuan mengejutkanku. Kuusap genangan yang membanjiri mataku. Kutolehkan wajah ke arah datangnya suara itu.

“Fatima,” gumamku spontan begitu melihat raut wajah yang menyapaku itu. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun itu langsung terhenti begitu aku sebutkan nama Fatima, mantan istriku.

“Bapak mengenal ibu saya?” tanya perempuan itu.

Lagi-lagi aku kaget mendengar pertanyaan itu.

“Jadi, Upiak[v] anaknya Fatima?” tanyaku kaget. Perempuan itu menganggukan kepala.

Aku kehilangan kata-kata untuk mengungkapkan perasaanku. Kuperhatikan lebih dalam wajah perempuan itu. Semuanya sama dengan Fatima, seperti hasil foto kopi yang sama benar dengan aslinya.

“Mau kemana?” tanyaku kehabisan bahan pembicaraan.

“Mau shalat di Guguak Sembahyang, Pak,” jawabnya. “Tadi saya sedang memupuk padi bersama suami saya,” lanjutnya memberi penjelasan.

Pupuk?!

Mendengar itu kepalaku langsung puyeng. Sebuah gada besar serasa menumbuk batok kepalaku dengan telak.

“Pupuk.... Pupuk.... Pupuk...,” bibirku merapalkan kata itu berulang kali.

Bagi petani, pupuk awal kesuburan tanaman mereka. Bagiku, pupuk awal kehilangan kesuburanku.***

[i] guguak (Minangkabau) : gundukan tanah yang membentuk bukit kecil yang terdapat di hamparan persawahan.

[ii] Galodo (Minangkabau) : banjir bandang

[iii] Mamak (Minangkabau) : paman, saudara laki-laki ibu.

[iv] Uda (Minangkabau) : panggilan untuk kakak laki-laki dan dalam konteks ini panggilan istri pada suaminya

[v] Upiak (Minangkabau) : upik, panggilan sayang untuk anak perempuan.


Sumber : Jurnas

Monday, September 01, 2008

Puisi dari Esha Tegar Putra

Yang Menghitung Kelokan Jalan

—sangdenai

kelokan jalan bukittinggi masih begitu, lembah berpunggung dingin, batang air menanak batu,
dan kabut masih saja menyembunyikan rindunya para bujang-gadis untuk menyebut
kata berpadu. tapi takkan kau dengar derak pedati menuruni landai jalan, takkan
kau dengar celotehan perempuan berkain-basahan di tepian mandi, takkan kau
dengar kekanak berlarian girang di surau saat magrib beranjak isya. dan takkan
kau ingat bahwasanya di tiap kelok jalan ke bukittinggi, si sayang telah
ditinggalkan pergantian tahun

Harau, 2008

.

Saturday, July 26, 2008

Kepada Perempuan Pecinta Hujan (1)

masihkah bulirbulir dari sudut matamu
mengabarkan kegalauan pada sunyi malam
mengalirkannya pada tetes yang menggaram
di lekuk pipimu yang memerah
kemudian luruh ke tanah
seperti hujan yang turun pagi itu?

ingin kutadahi bulirbulir yang luruh itu
dengan dua tanganku yang tergetar
lalu kubasuhkan ke dadaku, ke mukaku,
ke lenganku, ke seluruh tubuhku
agar dapat kuselami lebih dalam
galau yang menyelimuti malammu

lalu,
kita siangi galau malammu
dengan matahari di pelukanku

Taman MnemoniC, 2008



Kepada Perempuan Pecinta Hujan (2)

gerimis itu, perempuan, adalah Aku;
yang menjalin sirkulasi
dari bulirbulir air mata kelam
yang mengalir ke laut kesunyian
menguap jadi awan hitam kegalauan
kemudian menetes kembali ke hatimu

gerimis itu, perempuan, adalah Aku;
yang menjelma buliran
dari luruhanluruhan perihnya malam
yang akan mengeringkan luka lama
membalutnya dengan kasa kesetiaan
menjaganya hingga pagi menjelang

gerimis itu, perempuan, adalah Aku;
serupa embun yang akan menguraikan
cahaya matahari pagi
menjadi spektrum pelangi
melengkung di langit hatimu
dan akan mewarnai hidup dan duniamu

Taman MnemoniC, 2008


Kepada Perempuan Pecinta Hujan (3)

gemetar itu menyerang bibirku
kala kupaksakan untuk sekadar
memanggil namamu yang telah lama
tidak pernah kugumamkan

Taman MnemoniC, 2008


.

Friday, July 25, 2008

Agenda Ultimus

Selingkuh di Ultimus

Rabu, 30 Juli 2008

Pukul 19.00 s/d 22.00 WIB

Jika Chairil bilang “Yang bukan penyair tak boleh ambil bagian,” sajak-sajak Slamet justru memproklamasikan, “Yang bukan penyair boleh ambil bagian.” (Triyanto Triwikromo).

Rabu, 30 Juli 2008, pukul 19.00 WIB, Toko Buku Ultimus akan menggelar Launching kumpulan puisi A. Slamet Widodo yang berjudul “Selingkuh”. Acara ini akan diisi oleh pembacaan puisi dan performance oleh Soni Farid Maulana, Karensa Dewantoro, Ayi Kurnia, Peri Sandi Huizche, Heri Latief, Rahmat Jabaril, Fadila Romadhona, M.E Gunawan, Desti, Fadila Romadhona, Evi SR, KSJI, juga beberapa grup musik, seperti Asal Sada, Kelompok Bermain, Wedang Jahe, ASAS Zenith. Pengunjung akan disediakan bandrek juga penganan kecil. Acara ini terbuka untuk umum dan Gratis.

Thursday, July 10, 2008

Agenda Ultimus

Puisi merupakan salah satu media belajar, berekspresi dan berkarya bagi banyak kalangan, termasuk bagi mereka yang memperjuangkan penegakan kembali kedaulatan rakyat. Tidak hanya tatkala suatu hasil karya dituliskan, tetapi meliputi juga seluruh proses kerja dan kegiatan yang mengiringinya adalah bagian dari pemaknaan kedaulatan itu sendiri.

Ultimus bekerja sama dengan Lembaga Sastra Pembebasan mengadakan Launching buku puisi 50% Merdeka karya Heri Latief. Kegiatan ini akan dilaksanakan pada Hari selasa, tanggal 15 Juli 2008, pk. 19.00 WIB, bertempat di Ultimus Jl. Lengkong Besar No. 217 Bandung.

Anda akan disuguhkan berbagai sajian seperti diskusi buku bersama Matdon, Widzar Al-Ghiffary, dan Heri Latief. Berbagai sajian music dari Komunitas Asal Sada, STUBA, ASAS, STSI, dan pembacaan puisi oleh Desiyanti, Utche, M.E. Gunawan, Mira Dewi Kania, Mikrima Puspasari, Ervin Noviyanti, Ihung, Rahmat Jabaril, Bumi, Yani, dan Samsir Moehammad.

Ada penganan kecil dan doorprize! Acara ini Gratis!

“Barangsiapa yang tidak puas menyaksikan dan merasakan keadaan realitas Indonesia sekarang ini, maka dia akan cepat bersalaman dengan Heri Latief.”